Mpoe Kanwa, Arjoena Wiwaha, Balai Poestaka, Batavia, 1940.
Terlalu sering kita mendengar riwayat Arjuna Wiwaha, karya
Mpu Kanwa, petikan-petikannya dalam tulisan orang, dalam lakon wayang, dan
dalam pidato-pidato, serta terutama dalam relief-relief candi. Tetapi tidak
mudah untuk mendapatkan atau membaca langsung naskah ini, karena sejauh ini
hanya terdapat dalam Bahasa jawa Kuno.
Baru tahun 1940-lah, naskah ini tersedia dalam bahasa Melayu/Indonesia. Penerjemahnya adalah Sanusi Pane. Ia menerjemahkannya dari versi ahli Jawa Prof. Dr. Poerbatjaraka yang dimuat dalam jurnal Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Deel 82, 1926. Dalam majalah itu termuat juga terjemahan Poerbatjaraka dalam Bahasa Belanda.
Cover buku, sederhana tapi mengena
Dalam pengantarnya, Sanusi Pane mengatakan bahwa niatnya
menerjemahkan ini adalah untuk “…memperkenalkan Arjoena Wiwaha dalam bahasa
Melajoe…” Dalam kover depan tertulis, “Mpoe Kanwa, Ardjoena Wiwaha, disalin
dari Bahasa Djawa Koeno oleh Sanoesi Pane.” Ejaan yang digunakan masih van
Ophuysen.
Selain dari versi Bahasa Jawa Kuno itu, Sanusi
juga membandingkan dengan terjemahan Belanda yang dibuat Poerbatjaraka, di mana
ia menemukan “seringkali perbedaan paham tentang arti perkataan, peribahasa
atau kalimat.”
Ilustrasi yang tidak dijelaskan siapa pembuatnya
Sanusi Pane, saudara kandung Armen Pane, adalah seorang yang
dalam polemic kebudayaan tahun 1930an berada di seberang Sutan Takdir
Alisyahbana. Ia menolak keras ide Takdir untuk berpaling sepenuhnya ke Barat
dan mencampakkan Timur. Ia tetap menganggap Timur sebagai kekuatan dan sumber
inspirasi yang penting untuk kemajuan. Timur yang dibayangkan Sanusi Pane
merujuk pada India, dan pada Jawa, yang sebagian besar merupakan refleksi dari
pemikiran dan kebudayaan India tersebut.
Kakawin Arjuna Wiwaha adalah cerita-cerita yang diambil dari
Mahabarata. Karena bentuk dan susunannya, kakawin ini menjadi karya tersendiri
yang luar biasa. Tokohnya adalah seorang pahlawan bernama Arjuna yang “soedah
mentjapai Kebenaran Oetama”, “tahoe doenia tidak berharga”, “tidak gemar pada
djasmani”, akan “tetapi ia tinggal djoega di masjarakat” ingin “seloeroeh
doenia berbahagia.”
Berikut saya kutipkan bait 1 dari Sarga XII:
Sebeloem do’annja
habis, maka Paramarta Sjiwa bersabda:
“Anakkoe, soedah njata
engkau mentjapai maksoedmoe.
Akoe menganoegrahkan
panah jang sakti kepadamoe,
Pasjoepati nama
sendjata itoe, Lihatlah!”
Membaca kakawin ini sungguh mencerahkan.