Kamis, 23 Februari 2012

Gitanjali: Suara dari Timur (1952)

Rabrindanath Tagore, Gitanjali, disalin oleh Amal Hamzah, Cetakan Pertama, Penerbit Kebangsaan  Pustaka Ra’jat, 1952, 116 hlm. Ukuran 12x15 


Pada tahun 1914, Rabrindanath Tagore, sastrawan, pendidik, filosof, pembaharu sosial, dan pemusik memperoleh Hadiah Nobel bidang kesusasteraan. Penghargaan ini terutama ditujukan pada karya-karya puisinya, Gitanjali. Ia menjadi orang Asia pertama yang memperoleh penghargaan bergengsi tersebut. Sejak itu, namanya terkenal dan pengaruhnya meluas, karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa, tak terkecuali di Indonesia.


Tagore adalah suara mistik dari Timur. Tahun 1930an dunia dilanda krisis ekonomi, malaise. Krisis itu memang tidak semata ekonomi, tapi merambah ke dunia batin.  Tak aneh jika orang-orang Amerika dan Barat pun menoleh pada timur. Dan Timur kala itu di antaranya diwakili sosok Tagore tersebut.

Serupa pula perkembangannya di Indonesia. Ketika berlangsung Polemik Kebudayaan, para intelegensia Indonesia terbelah dalam dua orientansi: satu ke barat yang diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan satu lagi ke Timur, yang diwakili oleh Sanusi Pane. Dan Timur di sini, di antaranya merujuk kepada Tagore, yang mengolah Timur itu menjadi berwibawa dan terhormat.

Sejak 1915, seperti ditulis IBM Dharma Palguna dalam “Rabrindanath Tagore dalam Sastra Indonesia,” (Horison, 1997), Tagore telah mempengaruhi banyak sastrawan dan pemikir Indonesia. Tercatat nama-nama yang terpesona dan gandrung dengan Tagore itu adalah Notosoeroto, M. Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Amal Hamzah. Mereka menerjemahkan dan memperkenalkan karya-karya dan pemikiran-pemikiran Tagore di Indonesia, sehingga Tagore menjadi trend intelektual saat itu.

Yang menarik, meski karya-karya Tagore telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sejak tahun 1928, baru tahun 1952-lah karya besarnya, Gitanjali, disalin ke Bahasa Indonesia. Penyalinnya Amal hamzah, salah seorang penggemar Tagore dan saudara kandung Raja Penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah. Bersampul sederhana, dengan himpunan goresan pendek warna merah muda, serta permainan komposisi huruf, terjemahan ini boleh dikatakan telat. Tapi tidak mengapa, daripada tidak sama sekali. Barangkali perlu dikutip di sini sebagian dari bait puisinya:

...
Kena sintuh tanganMU kekal, petjahlah batas gembira hatiku ketjil dan lahirlah kata tak kuasa diutjapkan
KurniaMU maha besar ini, datang padaku, hanya melalui tanganku hina. Abad datang dan abad lalu, tetapi Engkau senantiasa memberi dan senantiasa pula ada ruang harus di sini
Sebenarnya Tagore tidak berpengaruh di dunia sastra saja. Dalam pendidikan pun nyata. Sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara mengambil insiprasi di antaranya dari Santhi Niketan, sekolah yang didirikan dan dikelola oleh Tagore.   

Tagore yang disebut Gandhi sebagai Gurudev (guru suci) pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 1930an. Setelah beberapa puluh tahun, karyanya Gitanjali masih terus dibaca. Di Indonesia sendiri, sampai tahun 1990an, masih bisa ditemukan terjemahan Amal Hamzah ini.  Gaya liris puisi-puisi Indonesia sekarang ini, barangkali bisa ditelusuri jejaknya juga pada Tagore ini. 

3 komentar:

  1. menyukai cetakan pertama dalam seluruh. Kita harus kembali ke akar, salah satu caranya menguliti batas hingga ke ujung.

    Terima kasih Cetakan Pertama, Anda telah menyelamatkan khazanah yang makin pupus di tengah belantara teknologi.

    BalasHapus
  2. Salam kenal,

    Saya membaca blog Anda, sangat ingin saya mendapat fotocopy dari Gitanjali, Rabrindanath Tagore, yang disalin oleh Amal Hamzah, Cetakan Pertama, Penerbit Kebangsaan Pustaka Ra’jat, 1952. Bagaimana caranya?

    Kalau tidak bisa, bisakah mendapat informasi: Apakah di dalam buku itu disebutkan dari versi buku Inggeris atau Belanda Amal Hamzah menterjemahkan Gitanjali? Penterjemahnya siapa? Saya yakin bukan dari bahasa Bengali?

    Salam,
    SL

    BalasHapus
  3. Saya penggemar Tagore, baca cetakan pertama menjadi ingin mendapatkan Gitanjali. Masih ada tidak ya?

    BalasHapus