Pada tahun 1914, Rabrindanath Tagore, sastrawan, pendidik, filosof, pembaharu sosial, dan pemusik memperoleh Hadiah Nobel bidang kesusasteraan. Penghargaan ini terutama ditujukan pada karya-karya puisinya, Gitanjali. Ia menjadi orang Asia pertama yang memperoleh penghargaan bergengsi tersebut. Sejak itu, namanya terkenal dan pengaruhnya meluas, karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa, tak terkecuali di Indonesia.
Tagore adalah suara
mistik dari Timur. Tahun 1930an dunia dilanda krisis ekonomi, malaise. Krisis itu memang tidak semata
ekonomi, tapi merambah ke dunia batin. Tak
aneh jika orang-orang Amerika dan Barat pun menoleh pada timur. Dan Timur kala
itu di antaranya diwakili sosok Tagore tersebut.
Serupa pula
perkembangannya di Indonesia. Ketika berlangsung Polemik Kebudayaan, para
intelegensia Indonesia terbelah dalam dua orientansi: satu ke barat yang
diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan satu lagi ke Timur, yang diwakili
oleh Sanusi Pane. Dan Timur di sini, di antaranya merujuk kepada Tagore, yang
mengolah Timur itu menjadi berwibawa dan terhormat.
Sejak 1915, seperti
ditulis IBM Dharma Palguna dalam “Rabrindanath Tagore dalam Sastra Indonesia,”
(Horison, 1997), Tagore telah mempengaruhi banyak sastrawan dan pemikir Indonesia.
Tercatat nama-nama yang terpesona dan gandrung dengan Tagore itu adalah
Notosoeroto, M. Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Amal Hamzah. Mereka
menerjemahkan dan memperkenalkan karya-karya dan pemikiran-pemikiran Tagore di
Indonesia, sehingga Tagore menjadi trend
intelektual saat itu.
Yang menarik, meski
karya-karya Tagore telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sejak tahun 1928,
baru tahun 1952-lah karya besarnya, Gitanjali, disalin ke Bahasa Indonesia.
Penyalinnya Amal hamzah, salah seorang penggemar Tagore dan saudara kandung Raja
Penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah. Bersampul sederhana, dengan himpunan
goresan pendek warna merah muda, serta permainan komposisi huruf, terjemahan ini boleh
dikatakan telat. Tapi tidak mengapa, daripada tidak sama sekali. Barangkali perlu dikutip di sini sebagian dari bait puisinya:
...
Kena sintuh tanganMU kekal, petjahlah batas
gembira hatiku ketjil dan lahirlah kata tak kuasa diutjapkan
KurniaMU maha besar ini, datang padaku, hanya
melalui tanganku hina. Abad datang dan abad lalu, tetapi Engkau senantiasa
memberi dan senantiasa pula ada ruang harus di sini
Sebenarnya Tagore tidak
berpengaruh di dunia sastra saja. Dalam pendidikan pun nyata. Sekolah Taman
Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara mengambil insiprasi di antaranya
dari Santhi Niketan, sekolah yang
didirikan dan dikelola oleh Tagore.
Tagore yang disebut
Gandhi sebagai Gurudev (guru suci)
pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 1930an. Setelah beberapa puluh tahun,
karyanya Gitanjali masih terus
dibaca. Di Indonesia sendiri, sampai tahun 1990an, masih bisa ditemukan
terjemahan Amal Hamzah ini. Gaya liris
puisi-puisi Indonesia sekarang ini, barangkali bisa ditelusuri jejaknya juga pada Tagore ini.
menyukai cetakan pertama dalam seluruh. Kita harus kembali ke akar, salah satu caranya menguliti batas hingga ke ujung.
BalasHapusTerima kasih Cetakan Pertama, Anda telah menyelamatkan khazanah yang makin pupus di tengah belantara teknologi.
Salam kenal,
BalasHapusSaya membaca blog Anda, sangat ingin saya mendapat fotocopy dari Gitanjali, Rabrindanath Tagore, yang disalin oleh Amal Hamzah, Cetakan Pertama, Penerbit Kebangsaan Pustaka Ra’jat, 1952. Bagaimana caranya?
Kalau tidak bisa, bisakah mendapat informasi: Apakah di dalam buku itu disebutkan dari versi buku Inggeris atau Belanda Amal Hamzah menterjemahkan Gitanjali? Penterjemahnya siapa? Saya yakin bukan dari bahasa Bengali?
Salam,
SL
Saya penggemar Tagore, baca cetakan pertama menjadi ingin mendapatkan Gitanjali. Masih ada tidak ya?
BalasHapus