Dalam transliterasi Bahasa Indonesia, nama lengkapnya semestinya ditulis
Jibran Khalil Jibran. Tapi karena kekeliruan dalam pencatatan administrasi
kependudukan, dan mungkin juga karena kebiasaan lidah Amerika, namanya lebih
populer sebagai Kahlil Gibran. Nama Arabnya itu, di Indonesia ini, sering
membuat orang yang pendek pandangan mengiranya seorang muslim.
Sosok Arab satu ini sangat menarik karena alasan berikut:
Menurut suatu pendapat, salah satu pendorong terbentuknya nasionalisme
adalah kemunculan kapitalisme cetak. Melalui penyebaran dan pembacaan berbagai
tulisan di awal abad 20 itu, orang-orang yang berbeda agama, suku, dan ras,
bisa membayangkan diri mereka sebagai suatu ‘bangsa’, suatu nation.
Karena itulah, Ben Anderson menyebut nasionalisme itu sebagai suatu “imagined
communities”: komunitas-komunitas khayali. Bersifat khayali, karena selain
dalam banyak hal berbeda, mereka juga tak pernah bertatap muka dan bersua satu
sama lain. Persatuan dan kesatuan itu sebenarnya hanya tumbuh dan ada dalam
bayangan. Tapi ya itu ajaibnya, karena meski begitu mereka bisa merasa ‘satu.’
Pada tataran lain, dengan gagasannya itu, Ben sebenarnya bertutur tentang
pengaruh suatu bacaan pada masyarakat yang secara golongan maupun kewilayahan
sangat terpisah. Artinya, suatu bacaan, entah itu karya sastra atau pun risalah
kemerdekaan seorang pemimpin politik, bisa memiliki daya integratif bagi suatu
masyarakat.
Tentu saja tidak setiap bacaan memiliki pengaruh demikian. Karena faktor
bahasa misalnya, sebuah karya hanya dibaca terbatas oleh penutur bahasa
tersebut. Ini semata soal teknis. Tetapi jika semangat dan ide dari karya itu
memang mendalam, bukanlah mustahil karya tersebut diterjemahkan dan lalu dibaca
oleh orang berbagai golongan dan bangsa. Adalah terutama karena ide dan
semangat yang diusung, sebuah karya memiliki nilai spiritual-universal, dan
signifikansinya melewati zamannya. Melampaui kepentingan membentuk “bangsa”,
bacaan seperti ini bisa menjadi “landasan bersama” bagi warga dunia sekarang
ini.
Kahlil Gibran, menurut saya, adalah salah seorang sastrawan yang karyanya menyandang peran seperti ini. Dalam sejarah kesusasteraan Arab, Gibran dianggap sebagai penulis rantau, “asy-syu’ara al-mahjar”, Arab terbesar. Karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Konon, dialah penulis Timur yang namanya paling sering dikutip di Barat. Dan tentu juga di Timur sendiri.
Tulisan-tulisan Gibran sebenarnya sangat sederhana dan, dalam banyak hal,
terasa klise. Tetapi mungkin karena kesederhanaan gayanya itulah yang
membuatnya tak lekang zaman dan bersifat universal. Karya-karyanya terus
bertahan dan tetap memikat bahkan pun dalam bentuk terjemahan.
Tapi saya yakin bukan semata faktor gaya yang membuat karyanya universal
dan menggugah. Menyimak secara seksama karyanya, kita akan temukan nilai-nilai
kehidupan spiritual yang demikian kaya. Jika
kau sedang dalam cinta, kau jangan mengatakan “Tuhan ada dalam hatiku,” tetapi
katakan, “Aku ada dalam hati Tuhan.” Demikian salah satu bait puisi
prosaisnya. “Tuhan” siapa yang ia maksudkan di situ? “Cinta” apa yang ia
suarakan di sana? Siapapun bisa menafsirkan dan memilikinya, karena ia
berbicara dalam bentuk metafora yang luas. Ia jelas tak bicara tentang Tuhan
Kristen Maronit, agama yang dipeluknya. Atau juga demi masyarakat Lebanon,
negerinya berasal. Ia berbicara itu sebagai sesuatu yang universal, yang
ditujukan buat semua umat manusia.
Gagasan cinta, kehidupan, dan moral dalam
karya-karyanya terus menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Dan
kini satu hal telah pasti, karyanya dibaca oleh orang berbagai bangsa dan juga
beragam agama. Secara imajinatif, Gibran menjadi semacam perayaan dunia akan
kebersamaan dan kerinduan akan cinta pada sesama.
Hampir seluruh karya Gibran telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Hingga sekarang pun karya-karyanya
masih bisa kita temukan di toko-toko buku. Cita rasa popnya, membuat puisinya
sering dikutip para remaja. Namun kedalaman idenya, membuat para pemimpin dan
agamawan tak ingin melewatkannya. Sebagai penghormatan, banyak orang tua yang
melekatkan nama “Gibran” untuk anaknya.
Tapi tahukah Anda, sejak kapan karya Gibran diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia? Saya tidak tahu persis, tapi mungkin terjemahan Bahrum Rangkuti dari karya besar Gibran berjudul ‘An-Nabi’ yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Pembangunan tahun 1949 ini bisa disebut sebagai yang pertama. Perhatikan, nama Gibran ditulis ‘Gebran Khalil Gebran’ yang berbeda dengan penulisan sekarang. Tapi ‘Khalil’ jauh lebih tepat dibanding ‘Kahlil’. Tentu saja bahasa Indonesia di sini masih beraroma lama. Semisal:
Dan
djika engkau tjinta djanganlah katakan:
“Tuhan
tinggal dalam hatiku”, tapi lebih baik: “Aku bermukim di kalbu Tuhan”
An-Nabi ini kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa versi Bahasa Indonesia. Sapardi Djoko Damono menerjermahkannya dengan "Al-Mustafa" (Bentang, 2005). Sebelumnya, Sri Kusdyantinah menerjemahkannya dengan judul "Sang Nabi" (Pustaka Jaya, 1981 dicetak 12x hingga 1995). Saya yakin masih ada versi lain lagi.
Demikian!
Demikian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar