Selasa, 15 Januari 2013

An-Nabi, Gebran Khalil Gebran (1949)

Judul Buku: An-Nabi, Penulis: Gebran Khalil Gebran, Penyalin: Bahrum Rangkuti, Penerbit: Pembangunan, Jakarta, 1949, 100 hlm. Ukuran: 12x19

Dalam transliterasi Bahasa Indonesia, nama lengkapnya semestinya ditulis Jibran Khalil Jibran. Tapi karena kekeliruan dalam pencatatan administrasi kependudukan, dan mungkin juga karena kebiasaan lidah Amerika, namanya lebih populer sebagai Kahlil Gibran. Nama Arabnya itu, di Indonesia ini, sering membuat orang yang pendek pandangan mengiranya seorang muslim.
Sosok Arab satu ini sangat menarik karena alasan berikut:


Menurut suatu pendapat, salah satu pendorong terbentuknya nasionalisme adalah kemunculan kapitalisme cetak. Melalui penyebaran dan pembacaan berbagai tulisan di awal abad 20 itu, orang-orang yang berbeda agama, suku, dan ras, bisa membayangkan diri mereka sebagai suatu ‘bangsa’, suatu nation. Karena itulah, Ben Anderson menyebut nasionalisme itu sebagai suatu “imagined communities”: komunitas-komunitas khayali. Bersifat khayali, karena selain dalam banyak hal berbeda, mereka juga tak pernah bertatap muka dan bersua satu sama lain. Persatuan dan kesatuan itu sebenarnya hanya tumbuh dan ada dalam bayangan. Tapi ya itu ajaibnya, karena meski begitu mereka bisa merasa ‘satu.’
Pada tataran lain, dengan gagasannya itu, Ben sebenarnya bertutur tentang pengaruh suatu bacaan pada masyarakat yang secara golongan maupun kewilayahan sangat terpisah. Artinya, suatu bacaan, entah itu karya sastra atau pun risalah kemerdekaan seorang pemimpin politik, bisa memiliki daya integratif bagi suatu masyarakat.
Tentu saja tidak setiap bacaan memiliki pengaruh demikian. Karena faktor bahasa misalnya, sebuah karya hanya dibaca terbatas oleh penutur bahasa tersebut. Ini semata soal teknis. Tetapi jika semangat dan ide dari karya itu memang mendalam, bukanlah mustahil karya tersebut diterjemahkan dan lalu dibaca oleh orang berbagai golongan dan bangsa. Adalah terutama karena ide dan semangat yang diusung, sebuah karya memiliki nilai spiritual-universal, dan signifikansinya melewati zamannya. Melampaui kepentingan membentuk “bangsa”, bacaan seperti ini bisa menjadi “landasan bersama” bagi warga dunia sekarang ini.



Kahlil Gibran, menurut saya, adalah salah seorang sastrawan yang karyanya menyandang peran seperti ini. Dalam sejarah kesusasteraan Arab, Gibran dianggap sebagai penulis rantau, “asy-syu’ara al-mahjar”, Arab terbesar. Karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Konon, dialah penulis Timur yang namanya paling sering dikutip di Barat. Dan tentu juga di Timur sendiri.
Tulisan-tulisan Gibran sebenarnya sangat sederhana dan, dalam banyak hal, terasa klise. Tetapi mungkin karena kesederhanaan gayanya itulah yang membuatnya tak lekang zaman dan bersifat universal. Karya-karyanya terus bertahan dan tetap memikat bahkan pun dalam bentuk terjemahan.
Tapi saya yakin bukan semata faktor gaya yang membuat karyanya universal dan menggugah. Menyimak secara seksama karyanya, kita akan temukan nilai-nilai kehidupan spiritual yang demikian kaya.  Jika kau sedang dalam cinta, kau jangan mengatakan “Tuhan ada dalam hatiku,” tetapi katakan, “Aku ada dalam hati Tuhan.” Demikian salah satu bait puisi prosaisnya. “Tuhan” siapa yang ia maksudkan di situ? “Cinta” apa yang ia suarakan di sana? Siapapun bisa menafsirkan dan memilikinya, karena ia berbicara dalam bentuk metafora yang luas. Ia jelas tak bicara tentang Tuhan Kristen Maronit, agama yang dipeluknya. Atau juga demi masyarakat Lebanon, negerinya berasal. Ia berbicara itu sebagai sesuatu yang universal, yang ditujukan buat semua umat manusia.
Gagasan cinta, kehidupan, dan moral dalam  karya-karyanya terus menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Dan kini satu hal telah pasti, karyanya dibaca oleh orang berbagai bangsa dan juga beragam agama. Secara imajinatif, Gibran menjadi semacam perayaan dunia akan kebersamaan dan kerinduan akan cinta pada sesama.
Hampir seluruh karya Gibran telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Hingga sekarang pun karya-karyanya masih bisa kita temukan di toko-toko buku. Cita rasa popnya, membuat puisinya sering dikutip para remaja. Namun kedalaman idenya, membuat para pemimpin dan agamawan tak ingin melewatkannya. Sebagai penghormatan, banyak orang tua yang melekatkan nama “Gibran” untuk anaknya.


Tapi tahukah Anda, sejak kapan karya Gibran diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia? Saya tidak tahu persis, tapi mungkin terjemahan Bahrum Rangkuti dari karya besar Gibran berjudul ‘An-Nabi’ yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Pembangunan tahun 1949 ini bisa disebut sebagai yang pertama. Perhatikan, nama Gibran ditulis ‘Gebran Khalil Gebran’ yang berbeda dengan penulisan sekarang. Tapi ‘Khalil’ jauh lebih tepat dibanding ‘Kahlil’. Tentu saja bahasa Indonesia di sini masih beraroma lama. Semisal:

Dan djika engkau tjinta djanganlah katakan:
“Tuhan tinggal dalam hatiku”, tapi lebih baik: “Aku bermukim di kalbu Tuhan”

An-Nabi ini kemudian diterjemahkan ke dalam beberapa versi Bahasa Indonesia. Sapardi Djoko Damono menerjermahkannya dengan "Al-Mustafa" (Bentang, 2005). Sebelumnya, Sri Kusdyantinah menerjemahkannya dengan judul "Sang Nabi" (Pustaka Jaya, 1981 dicetak 12x hingga 1995). Saya yakin masih ada versi lain lagi.
Demikian!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar